Bagi aktivis masjid kampus, nama Anis Matta tentu tidak asing lagi. Selain dikenal sebagai aktivis partai politik, juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif dalam menelurkan karya. Karya-karyanya tersebar dibeberapa media Islam seperti Saksi, Tarbawi, Ummi dan Suara Hidayatullah. Karya-karya yang tercecer diberbagai media Islam tersebut sebagian besar telah dikumpulkan menjadi sebuah buku, salah satunya adalah buku ini. Di dalam buku ini termuat 30 esei politik yang sebelumnya pernah muncul di majalah Suara Hidayatullah.
Buku ini seacara garis besar berbicara tentang negara. Di awal buku ini, Anis Matta menyoroti tentang sebuah negara Madinah yang dibangun dari sebuah gerakan selama perjuangan di Mekah. Seperti dalam sejarah kenabian, selama tigabelas tahun di Mekah, Rasulullah Saw melakukan perjuangan yang menekankan pembangunan akidah dalam diri individu maupun masyarakat. Kemudian, gerakan tersebut bermetamorfosis melalui sebuah momentum hijrah ke Madinah yang kelak disinilah akan terbentuk sebuah komunitas muslim yang dibingkai dalam sebuah negara.
Lantas, Anis Matta memotret fenomena kenegaraan Madinah tersebut dalam konteks kekinian. Dalam pandangannya, tidak begitu masalah apakah bentuk negara itu khilafah, kerajaan ataupun negara bangsa, begitu juga dengan sistem pemerintahan, entah monarki, presidensiil atau parlementer walaupun ada kecenderungan pada pilihan khilafah yang mirip dengan konsep global state (negara dunia) seperti yang diimpikan George Bush junior penguasa Amerika, hal ini didasarkan pada alasan peran dan efektifitas. Tapi, yang lebih penting justru bukan pada bentuknya, tapi pada fungsinya yaitu sebagai institusi yang mewadahi penerapan syari’at Allah SWT.
Di dalam esei-esei yang lain. Anis Matta mengkritik habis proyek sekularisasi di dunia Islam beserta kegagalan dakwah parsial. Menurutnya, kegagalan proyek sekularisasi bisa dijelaskan dalam dua perspektif yaitu akidah dan rasio. Secara akidah, kegagalan ini hanyalah pembuktian empiris dari janji Allah untuk mengabadikan Islam. Agama ini adalah milik Allah dan Dialah yang berhajat melindungi dan mengabadikan agamaNya, ada yang mau mendukungnya atau tidak. Sementara penjelasan rasionalnya diketengahkan beberapa sebab, misalnya, kekuatan sekuler di dunia Islam tidak bersumber dari dunia Islam, tapi dari Barat atau Timur, rejim-rejim dikator telah menciptakan penderitaan rakyat yang panjang, kegagalan membangun telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji modernisasi.
Berbicara dalam konteks Indonesia, Anis Mata berpendapat bahwa gerakan-gerakan pemikiran Islam yang dibangun sebagai kekuatan pro sekuler didalam basis-basis pertahanan budaya Islam, baik yang dulu bernama gerakan pembaharuan maupun yang reinkarnasinya kini bernama Islam Liberal atau Islam kiri, tidak pernah sanggup membawa konsep-konsep pemikiran yang orisinil, komprehensif, berlandaskan metodologi yang kokoh dan output empiris yang sukses. Sementara, permasalahan lain dari gerakan sekuler seperti Islam Liberal atau Islam kiri adalah ketergantungan mereka akan dukungan politik, media dan dana dari Barat.
Anis Matta menyebut gerakan semacam itu dengan istilah “pepesan kosong”, doyan bermain retorika, tidak produktif dan lebih berorientasi mengganggu apa yang mereka sebut sebagai gerakan “Islam Fundamentalis”, ketimbang membangun sebuah dunia nyata dari gagasan besar yang lengkap. Di contohkan, misalnya bagaimana tokoh sekularis yang dikagumi kalangan dalam dan luar negeri seperti Gus Dur, membangun pepesan kosongnya selama duapuluh tahun untuk kemudian menduduki kursi presiden selama 21 bulan (hal : 69).
Di akhir tulisan, Anis Matta mengajak kaum muda untuk bangkit kembali. Anak-anak muda yang telah berhasil menumbangkan rejim orde baru tidak boleh berhenti untuk berkiprah. Ajakan ini sekaligus menjadi motivasi yang besar bagi generasi muda kini untuk melanjutkan estafet kepemimpinan, yang dalam istilahnya untuk ”Menata ulang Taman Indonesia”.Buku ini secara garis besar memberikan peta bagi generasi muda kini untuk melakukan kiprah dan tugas intelektualnya dakam konteks kenegaraan. Jadi, bagi siapapun yang tertarik untuk mendapatkan pencerahan tentang bagaimana kita melangkah menata negeri ini, buku ini perlu dibaca. Setidaknya, bisa memberikan alternatif pemikiran bagi gerakan untuk perubahan kedepan menuju kondisi yang lebih baik.